Saturday, November 21, 2009

Sekali Lagi: 10 Keganjilan di Bank Century (1-2)

Oleh: Dandhy D Laksono --

Yang akan saya tulis di bawah ini hanya menggenapi apa yang telah diurai Kwik Kian Gie dalam artikelnya yang dimuat di Suara Pembaruan, Senin, 9 November 2009. Kwik memegang dokumen “Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi atas Kasus Bank Century” yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 26 September 2009. Tapi yang saya maksud “menggenapi” bukan karena artikel itu ganjil, melainkan jalan cerita kasus Bank Century lah yang berwajah demikian.

Keganjilan 1: Frankenstein
Frankenstein adalah makhluk dalam karya fiksi Mary Shelley yang dihidupkan secara “ilmiah” dari unsur-unsur yang (seharusnya) telah mati. Bank Century adalah hasil merger tiga bank: Pikko, CIC, dan Danpac pada 6 Desember 2004 atau dua bulan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik di periode pertama masa pemerintahannya. Dua bank yang disebut pertama sebenarnya tak layak hidup, karena punya masalah dengan surat-surat berharga (SSB) dalam valuta asing dan memiliki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di bawah ketentuan minimum 8 persen.

SSB valas yang berjumlah 203 juta dolar Amerika (sekitar Rp 2 triliun) itu berkualitas rendah (tidak memiliki rating/peringkat) dan berbunga rendah. Ada lagi US Treasury Strips sebesar 185 juta dolar yang dibeli di bawah harga pasar, namun di pembukuan dicatat sebesar harga nominalnya, sehingga seolah-olah aset bank calon pengantin merger ini, kinclong. Merger itu sendiri memang untuk menyelamatkan ketiga bank yang saham-sahamnya juga dimiliki secara bersama-sama oleh Chinkara Capital, Ltd, Rafat Ali Rizvi, dan Hesham Al Waruq.

Singkat cerita, berdasarkan temuan BPK, agar “proyek Frankenstein” ini sukses Bank Indonesia diduga telah memberikan kelonggaran terhadap persyaratan merger dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Aset berupa SSB yang semula dinyatakan macet oleh BI, kemudian dianggap lancar untuk memenuhi ketentuan CAR minimal 8 persen dalam rangka merger.
2. Pemegang saham pengendali yang sebenarnya dinyatakan tidak lulus fit and proper test tetap dipertahankan.
3. Pengurus bank, yaitu komisaris dan direksi bank ditunjuk tanpa melalui fit and proper test.
4. Laporan keuangan Bank Pikko dan Bank CIC yang dijadikan dasar merger, sebenarnya diberi opini disclaimer oleh Kantor Akuntan Publik.

Tapi ini baru temuan awal. BPK sendiri hingga kini masih bekerja dan akan mendalami lebih jauh.

Keganjilan 2: Dimanja
Singkat cerita, merger ketiga bank sudah dilakukan dan bank yang baru diberi nama Century. Tapi dasar Frankenstein, hanya dua bulan setelah merger, tepatnya 28 Februari 2005, posisi rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century sudah negatif. Bila dokumen laporan BPK itu tidak salah ketik (karena ada juga bagian yang seharusnya “juta”, tapi ditulis “miliar”), angkanya negatif 132,5 persen!

Bank Indonesia bukannya tidak tahu. Namun kabar resmi tentang isi perut Century sendiri baru dirampungkan BI melalui Laporan Hasil Pemeriksaan tertanggal 31 Oktober 2005 (baca: delapan bulan kemudian). Berdasarkan laporan itu, sesuai ketentuan, mestinya Bank Century sudah harus ditetapkan dalam status Pengawasan Khusus. Namun atas usul Direktur Pengawasan Bank 1 yang disetujui oleh Deputi Gubernur Bidang 6, Bank Century hanya dinyatakan berstatus Dalam Pengawasan Intensif. Posisi CAR yang negatif itu sebenarnya adalah konsekuensi tak terhindarkan dari penyakit bawaan sebelum merger di mana ada aset berupa surat-surat berharga (SSB) sebesar 203 juta dolar yang berkualitas rendah, dan 116 juta dolar di antaranya masih dikuasai pemegang saham.

Dalam situasi seperti itu, menurut peraturan yang dibuat BI sendiri, mestinya para pemegang saham Bank Century wajib melakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang besarnya 100 persen. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Jadi bila bank punya aset busuk yang mestinya dicoret dari daftar aktiva, maka harus dicadangkan dana pengganti sesuai jumlahnya. Ini seperti ketentuan pencadangan untuk kredit macet. Nah, tentu saja, bila hal ini dilakukan, maka modal bank akan tergerus. Begitu juga dengan Century. Entah mengapa, menurut laporan BPK, BI menyetujui untuk tidak melakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terhadap surat-surat berharga tersebut. Dus, itu berarti modal Century tidak akan terancam dan banknya masih bisa hidup. Ini semua cerita tahun 2005.

Lalu sepanjang tahun 2005 hingga 2007, masih menurut BPK, hasil pemeriksaan Bank Indonesia sebenarnya juga menemukan adanya pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dilakukan Bank Century namun BI “tidak mengambil tindakan yang tegas”.

Ada lagi cerita pelanggaran ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN) yang dilakukan Bank Century yang mestinya dikenai denda sebesar Rp 22 miliar, namun nyatanya, BI justru memberikan diskon denda sebesar 50 persen, sehingga manajemen Bank Century hanya membayar denda Rp 11 miliar. Bank ini sungguh dimanja.

Jika BI bertindak tegas terhadap Bank Century, terutama mengenai penerapan ketentuan PPAP, maka bank tersebut seharusnya ditempatkan Dalam Pengawasan Khusus sejak 31 Oktober 2005. Tapi nyatanya, status itu baru disematkan pada Bank Century pada 6 November 2008, alias tiga tahun kemudian! (bersambung)

No comments:

Post a Comment