Saturday, November 21, 2009

Sekali Lagi: 10 Keganjilan di Bank Century (3-4)

oleh: Dandhy D Laksono --

Keganjilan 3: Disusui
Sang Frankenstein yang dipaksakan hidup, memang terus merana kekurangan likuiditas. Pada 30 Oktober 2008 atau seminggu sebelum statusnya dinyatakan Dalam Pengawasan Khusus, Bank Century mengajukan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp 1 triliun kepada bank sentral sebagai lender of the last resort. Permohonan itu diulangi empat hari kemudian (3 November 2008) dengan posisi rasio kecukupan modal (CAR) yang menurut Bank Indonesia saat itu masih positif 2,35 persen (posisi 30 September 2008). Padahal, syarat bagi sebuah bank untuk mengajukan FPJP, sesuai aturan yang dibuat BI sendiri, harus memiliki CAR minimal 8 persen. Aturan ini tertuang dalam PBI No. 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bank Umum.

Dus, sesuai aturan di atas kertas, Bank Century tak layak meminta utang dalam skema FPJP satu rupiah pun. Alih-alih Rp 1 triliun.

Tapi pada tanggal 14 November 2008, atau dua pekan setelah permohonan FPJP kedua dilayangkan, Bank Indonesia mengubah peraturan mengenai persyaratan pemberian FPJP: yang tadinya minimal harus memiliki CAR 8 persen, menjadi cukup dengan CAR positif. Artinya, bila sebuah bank memiliki CAR 0,01 persen pun, layak diberi FPJP. Nah, dengan ketentuan baru itu, maka Bank Century yang memiliki CAR 2,35 persen (per 30 September 2008), pun menjadi layak dikucuri Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek seperti yang diminta.

Jadi di manakah ganjilnya?

Bila perubahan ketentuan FPJP yang memungkinkan Century mendapat utangan ini tidak dianggap ganjil, maka barangkali temuan BPK berikut ini bisa memberi perspektif lain:

Bila mengacu pada posisi CAR tanggal 30 September 2008, Century memang layak diberi FPJP yang telah “dimodifikasi”. Tapi posisi CAR Bank Century sendiri ternyata sudah berubah saat aturan FPJP itu “dilonggarkan”. Posisi CAR pada 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53 persen bukan lagi positif. Sehingga, dengan ketentuan baru yang sudah longgar inipun, mestinya Bank Century tak berhak mendapat pertolongan dalam bentuk FPJP. Apalagi, “sebagian jaminan FPJP yang dijanjikan sebesar Rp 467,99 miliar ternyata tidak secure”.

Dengan mengantongi ketentuan baru itu, pada hari yang sama, maka Bank Century pun mulai diguyur FPJP sebesar Rp 356 miliar (14 November 2008), disusul Rp 145 miliar (17 November), dan Rp 187 miliar (18 November). Total jenderal dana dari BI yang dipinjamkan ke Century adalah Rp 689,39 miliar melalui skema Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek.

Keganjilan 4: Dibesar-besarkan
Inilah keganjilan yang paling ramai diperdebatkan, yaitu apakah bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun dilakukan untuk menghindari dampak sistemik, yang bisa membawa Indonesia ke lembah kehancuran seperti saat krisis tahun 1998? Atau determinasi Bank Century dalam lanskap perbankan nasional dan sistem keuangan Indonesia sesungguhnya cuma aksi “Mak Erot” belaka? (baca: kecil tapi dibesar-besarkan). Artinya, “seribu” bank seperti Century mati pun, tak akan berpengaruh apa-apa pada perekonomian nasional? Tentu saja kata “seribu” juga membesar-besarkan.

Sejak tanggal 6 November 2008, atau tiga hari setelah permintaan FPJP, Bank Century ditetapkan sebagai bank Dalam Pengawasan Khusus. Nyatalah sudah, bahwa bank ini minta ditolong dan karenanya bank sentral punya “pintu masuk” untuk menempatkannya di bawah “mikroskop”. Bank Indonesia pun lalu menempatkan pengawas di kantor Bank Century sehingga otoritas moneter itu punya akses yang leluasa untuk memelototi kinerja keuangannya. Hanya dalam tempo 14 hari, Bank Indonesia sudah mengumpulkan cukup informasi untuk membuat sebuah keputusan penting mengenai Century.

Dalam sebuah rapat Dewan Gubernur BI pada hari Kamis, 20 November 2008, hampir jam delapan malam (19.44 WIB), otoritas moneter itupun menetapkan Bank Century sebagai “Bank Gagal” dengan alasan sebagai berikut:

1. Posisi CAR pada 31 Oktober 2008 adalah negatif 3,53 persen dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8 persen sehingga bank dinilai insolvent. Ini terjadi karena hingga Kamis malam itu (20 November 2008), pemegang saham tidak dapat memenuhi komitemnnya untuk menambah modal atau mengundang investor baru.

2. Kondisi likuiditas, yaitu Giro Wajib Minimum (GWM) pada tanggal 19 November 2008, memang masih positif Rp 134 miliar (1,85 persen). Artinya bank itu masih punya uang untuk diputar. Tapi di saat yang sama ada kewajiban RTGS (Real Time Gross Settlement) dan kliring yang belum diselesaikan oleh BC sebesar Rp 401 miliar, sehingga GWM Bank Century dalam rupiah mengalami posisi negatif alias di bawah 0 persen. Apalagi, masih ada kewajiban yang akan jauh tempo pada 20 November 2008 sebesar Rp 458 miliar.

Padahal, untuk menopang likuiditas Bank Century, BI sudah memberikan FPJP sebesar Rp 689 miliar (setelah mengubah aturan CAR minimum). Namun uang itu tak ada artinya karena penarikan dana nasabah jauh lebih besar dari amunisi yang telah disediakan bank sentral.

Lalu setelah dinyatakan sebagai “Bank Gagal”, BI pun harus memutuskan, apakah bank ini ditutup atau diselamatkan. Bila ditutup berarti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus menyiapkan ongkos untuk memenuhi program penjaminan (membayar uang nasabah di bawah Rp 2 miliar per rekening), dan bila diselamatkan berarti Bank Century harus disuntik modal baru, yang tak lain juga duit LPS.

Tapi ada yang lebih penting dari urusan tutup-menutup bank ini, selain soal duit; yakni apakah penutupan Bank Century akan menimbulkan dampak sistemik seperti kisah penutupan 16 bank di awal krisis moneter tahun 1997 yang mengakibatkan rush besar-besaran dan ketidakpercayaan masyarakat pada institusi bank (nasional). Tentu saja dengan satu dua catatan, misalnya, saat itu Bank Bali justru kebanjiran likuiditas hingga Rp 10 triliun karena para direksinya tidak memindahkan deposito di bank-nya sendiri. Pemindahan dana deposan atau nasabah biasanya dipicu rumor dari mulut ke mulut tentang apakah orang-orang yang duduk di manajemen bank itu, memindahkan tabungan mereka ke bank lain. Sebab, inilah salah satu indikator sebuah bank di ambang maut.

Dus, Bank Indonesia membayangkan situasi serupa akan terjadi bila si Frankenstein Century dibiarkan mati (lagi). Hasilnya sudah sama-sama kita ketahui: Bank Century diselamatkan dan mendapat suntikan dana karena dipercaya kematiannya akan menimbulkan efek sistemik pada sistem perbankan dan menghancurkan kepercayaan masyarakat di sektor jasa keuangan.

Tapi kriteria apakah yang dipakai untuk memutuskan bahwa kematian sebuah bank akan menimbulkan dampak sistemik?

Tersebutlah sebuah kesepakatan di antara para pejabat bank sentral, otoritas moneter, dan otoritas fiskal di Eropa yang dijadikan acuan Bank Indonesia. Nama kesepakatan itu cukup panjang: Memorandum of Understanding (MoU) of Cooperation Between The Financial Supervisory Authorities, Central Banks and Finance Ministries of The European Union: On Cross-Border Financial Stability, yang diteken tanggal 1 Juni 2008.

Dalam MoU itu disepekati ada empat aspek yang bisa dijadikan dasar penentuan apakah penutupan sebuah bank memiliki dampak sistemik. Keempat aspek itu adalah:

1. Dampaknya pada institusi keuangan
2. Dampaknya pada pasar keuangan
3. Dampaknya pada sistem pembayaran
4. Dampaknya pada sektor riil

Inilah yang disebut dampak sistemik. Jadi, bila kematian sebuah bank diikuti dengan dampak terhadap empat hal di atas, maka itulah nilai “sistemiknya”. Bukan yang lain.

Nah, menurut BPK, dari keempat aspek tersebut, Bank Indonesia hanya menggunakan indikator kuantitatif untuk mengukur dampak pertama (institusi keuangan). Sedangkan untuk tiga dampak lainnya, BI lebih mendasarkan pada pertimbangan kualitatif.

Inilah hasil penilaian BI atas indikator pertama

Pertanyaan 1: Apakah fungsi bank sangat penting dalam industri perbankan?

Jawaban: Tidak. Rasio atau perbandingan dana pihak ketiga (DPK) bank terhadap DPK industri di Bank Century hanya 0,68 persen. Sementara rasio kredit bank terhadap kredit industri hanya 0,42 persen.

Pertanyaan 2: Apakah peranan bank dalam melayani nasabah?

Jawaban: Dari sisi kredit, mayoritas diberikan untuk modal kerja (76,58 persen), serta untuk membiayai sektor industri (21,79 persen). Tapi dilihat dari pangsa kreditnya terhadap industri yang hanya 0,42 persen, maka perannya relatif kecil. Sementara dari segi penghimpunan dana, sebagian besar dalam bentuk deposito (84,82 persen).

Pertanyaan 3: Bagaimana ukuran bank dibandingkan industri?

Jawaban: Kecil (tidak signifikan). Rasio aset bank terhadap aset industri 0,72 persen, rasio DPK bank terhadap DPK industri 0,68 persen, dan rasio kredit bank dibanding kiredit industri hanya 0,42 persen.

Pertanyaan 4: Apakah fungsi bank dapat digantikan oleh bank lain?

Jawaban: Ya. Terdapat banyak banyak sejenis dalam industri perbankan.

Pertanyaan 5: Bagaimana kaitan antara bank dengan bank lain dalam industri perbankan?

Jawaban: Relatif signifikan. Transaksi antar-bank aktiva dibanding total aset mencapai 24,28 persen, sementara transaksi antar-bank pasiva dibanding total kewajiban mencapai 19,34 persen.

Itulah kesimpulan Bank Indonesia terhadap Bank Century (dari aspek institusi keuangan). Sementara tiga aspek sisanya, menurut BPK, hanya dirumuskan secara kualitatif, seperti juga aspek psikologi pasar yang ditambahkan kemudian. Dengan demikian, maka kini BI memiliki 5 aspek (4 aspek MoU ditambah 1 aspek psikologi pasar). Dan dengan kelima hal itulah, BI lalu sampai pada kesimpulan:

“...adanya ketidakpastian yang tinggi terutama terhadap psikologi pasar/masyarakat yang selanjutkan dapat memicu ketidakpastian/gangguan di pasar keuangan dan sistem pembayaran.”

Karena itulah, maka dalam Rapat Dewan Gubernur BI, Bank Century lalu dinyatakan sebagai “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik”.

Keputusan itu lalu diberitahukan melalui sebuah surat berklasifikasi “Rahasia” kepada Menteri Keuangan selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pada tanggal 20 November 2008 (Surat No. 10/232/GBI/Rahasia) dengan titel Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penetapan Tindak Lanjutnya.

Kriteria yang dibuat Bank Indonesia itu memang membuka ruang perdebatan. Misalnya, kesimpulan BI pada pertanyaan nomor 5, justru bisa dibaca dengan tafsir sebaliknya. Bila aktiva antarbank 24,28 persen dan pasiva antarbank-nya hanya 19,34 persen, maka di atas kertas, Bank Century justru mempunyai tagihan bersih sebesar 4,94 persen kepada bank-bank lain dalam hubungan pinjam meminjam antar bank di pasar uang (inter bank call money market).

“Maka, kalau Bank Century dilikuidasi, tidak ada bank yang dirugikan,” kata Kwik Kian Gie dalam artikelnya di Suara Pembaruan, 9 November 2009. (bersambung)

baca:
Skandal Bank Century

No comments:

Post a Comment