Friday, February 19, 2010

Dapatkah Kretek Menjadi Produk Khas Indonesia? (Karim Raslan)

Dapatkah Kretek Menjadi Produk Khas Indonesia?
Karim Raslan

KETIKA rakyat Indonesia menyaksikan industrinya merosot dikalahkan oleh mesin-mesin ekspor dari China, beberapa pekan terakhir ini, saya ingin menulis tentang sejumlah produk khas Indonesia.

Pencarian ini membawa saya pada sebuah perjalanan ke Bandung dan bertemu merk pakaian UNKL347 milik Dendy Darman yang begitu digandrungi anak muda, hingga ke Tumanggong dengan radio kayu karya Pak Singgih Kartono yang ramah lingkungan.

Namun sejumlah usaha kecil seperti ini bukanlah solusi bagi tenaga kerja Indonesia yang membludak dan butuh lapangan kerja.

Tapi, ada satu industri yang pengaruhnya begitu besar hingga orang-orang China pun pasti akan kagum. Industri itu bernama rokok kretek yang akan selalu menjadi milik Indonesia.

Setiap kita mengisap rokok kretek, di manapun kita berada, kita pasti akan merasa terbawa ke Jawa: sebuah pulau dengan kekayaan sejarah dan tradisi, serta keindahan luar biasa. Ya, mungkin kedengarannya agak norak, tapi ini kenyataan. Jawa jauh lebih evokatif daripada sejumlah dataran tinggi Skotlandia yang selalu basah diguyur hujan; Jawa adalah tempat asal sebuah produk yang merajai pasar global.

Besarnya industri ini begitu fenomenal. Diperkirakan ada 10 juta orang – petani cengkeh dan tembakau, pekerja pabrik, pedagang dan pemilik warung – yang mendapatkan nafkahnya dari pembuatan rokok. Industri ini juga menyuntikkan sekitar 5,5% ke dalam kas nasional, sumber pendapatan pemerintah yang naik dari Rp4 triliun pada 1996 hingga mencapai Rp40 triliun pada 2009.

Dan sekarang saya berada di Mragen, sebuah dataran rendah penghasil tembakau di Jawa Tengah. Dataran yang rata dan berdebu, bahkan di musim hujan. Lokasinya sekitar satu jam dari Semarang. Jalanan kampung yang saya tempuh benar-benar tidak bersahabat: penuh lubang di sana-sini. Ini jelas bukan Marlboro Country.

Dalam mobil ini, saya mengikuti Pak Suparman, yang bisa disebut sebagai ikon Philip Morris versi Jawa. Di atas sepeda motor, dia mengantar kami menuju tempat usahanya.

Penampilan pria berkulit legam berusia 56 itu memang mencerminkan seorang petani dan pembeli tembakau yang makmur, atau yang biasa disebut 'pengepul'. Sampai di tokonya yang tampak sederhana, dia membuka sebuah pintu metal yang di baliknya ada ruangan setinggi lima meter. Ruangan itu penuh dengan tumpukan tembakau Mragen yang diikat dan diberi tanda – semuanya kelihatan sudah lama tersimpan, semakin matang dengan perlahan. Bila bisnis sedang bagus, katanya, toko ini kosong.

Daun tembakau Mragen adalah salah satu dari tanaman tembakau lokal, di samping tembakau Temanggung, Bojonegoro, Madura, Muntilan, dan Madiun. Tembakau ini dicampur dengan cengkeh untuk menghasilkan rasa unik.

Tentu saja, tidak semua petani tembakau seberhasil Pak Suparman yang cekatan ini. Menanam saat musim kemarau membutuhkan usaha keras. Mereka harus tekun merawat dan memupuk selama berbulan-bulan, untuk kemudian dipetik dengan teliti selama beberapa minggu. Tapi, di tanah pantai yang kering dan panas ini, tembakau adalah sebuah berkah: penghasil uang dengan pasar yang stabil. Tanaman lainnya seperti kedelai dan kacang tanah tidak menghasilkan uang sebanyak tembakau. Terlebih lagi, di zaman ini, ketika orang-orang sangat sadar kesehatan, tembakau Mragen juga dikenal mempunyai kadar nikotin yang sedikit lebih rendah.

Pak Sutikno tinggal di sebelah tempat Pak Suparman ini. Dia adalah petani tembakau berusia 60. Posisinya berada di tingkat terbawah dari piramid kretek. Margin keuntungannya sangat kecil.

Namun begitu, desa ini sudah terjangkau listrik. Pak Sutikno bisa dengan bangga mengaku punya pesawat televisi buatan China dan kipas angin meja. Di tengah tanda-tanda kemajuan yang sedikit ini, Sutikno tidak percaya akan pentingnya pendidikan: “Buat apa menyekolahkan anak tinggi-tinggi? Tetangga saya punya gelar tapi tidak bisa dapat pekerjaan. Dia jadi petani saja seperti saya. Lebih baik uang digunakan untuk membeli tanah daripada biaya sekolah.”

Dengan jumlah petani tembakau yang diperkirakan sebanyak 2,4 juta – sebagian besar berada di ambang garis kemiskinan – pemerintah harus memikirkan bagaimana mereka akan menangani industri rokok kretek ini. Ya, tentunya pemerintah akan membebankan pajak lebih besar.

Namun, kretek adalah produk yang spesial dan merupakan sebuah brand Indonesia dengan rangkaian nilai yang 100% lokal. Pemerintah harus membuat keputusan strategis. Penghasil kretek butuh bantuan agar mereka dapat memasarkan produk mereka ke luar negeri.

Sampoerna, Djarum, dan Gudang Garam dapat menjadi raksasa pan-Asia, bahkan regional, seperti yang sudah dilakukan Filipina dengan merk San Miguel. Mereka punya sumber daya untuk mengembangkan pasar mereka dan menjadi eksportir handal, seperti halnya Absolut, merk vodka yang telah menjadi ikon Swedia.

Yang dibutuhkan adalah keberanian, ambisi dan visi. Orang-orang seperti Pak Sutikno dari Mragen tidak bisa menunggu lebih lama lagi. [mor]

No comments:

Post a Comment