Saturday, November 21, 2009

Sekali Lagi: 10 Keganjilan di Bank Century (10 – Belum Final)

Oleh: Dandhy D Laksono --

Artikel berseri ini terancam basi bila hasil audit final Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diserahkan ke DPR, 23 November 2009, ternyata menjungkir-balikkan semua temuan awal yang telah dikantongi pada April dan September 2009 lalu. Tapi hasil audit awal ini setidaknya bisa menjadi alat kontrol –meski tak harus selalu mendukung—hasil audit final.

Untuk menyegarkan ingatan kita kembali, inilah urutan 10 keganjilan di seputar kasus bail-out Bank Century.

1. Bank Century tak layak merger, tapi dipaksakan (Desember 2004).

2. Pengawasan atas bank hasil merger tak maksimal dan Bank Indonesia mestinya sudah memasukkan bank ini dalam kategori Bank Dalam Pengawasan Khusus (Oktober 2005).

3. Aturan minimum Rasio Kecukupan Modal (CAR) yang diubah dari 8 persen menjadi 0 persen, sehingga memungkinkan Bank Century mendapat kucuran dana melalui skema Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp 689 miliar.

4. Bank Century di-bail out dengan biaya Rp 6,7 triliun dengan alasan bisa menimbulkan Dampak Sistemik. Padahal Bank Indonesia tidak menggunakan ukuran-ukuran yang jelas tentang apa yang dimaksud Dampak Sistemik tersebut.

5. Opsi bail-out melalui skema Penyertaaan Modal Sementara oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada hakikatnya menggunakan dana publik, karena modal awal LPS dari APBN (Rp 4 triliun) dan LPS bukanlah asuransi perbankan yang mendasarkan keputusannya pada hitungan-hitungan bisnis murni. LPS menunggu “order” dari BI dan Pemerintah untuk menyelamatkan sebuah bank, dan LPS bisa meminta tambahan dana ke APBN bila ternyata ia kekurangan modal akibat menjalankan perintah penyelamatan tersebut. Bila LPS adalah lembaga asuransi perbankan murni, maka mem-bail out Bank Century dengan Rp 6,7 triliun adalah tindakan yang penuh risiko sebab modal LPS hanya Rp 18 triliun sementara konon ada 18 bank yang dinyatakan berstatus Dalam Pengawasan Khusus. Bila hitung-hitungannya bisnis asuransi perbankan murni, mungkinkah sebuah lembaga asuransi mengeluarkan sepertiga modalnya untuk menyelamatkan sebuah bank, sementara kondisi bank lain juga sedang dalam “krisis berdampak sistemik”?

6. Informasi tentang kondisi CAR Bank Century tidak aktual sehingga keputusan yang diambil tentang besaran dana untuk bail-out berbeda secara tajam, dari semula Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.

7. Ada kerancuan dalam dasar hukum yang digunakan untuk mem-bail out Bank Century. Di satu sisi ada Perppu tentang Jaringan Pengaman Sektor Keuangan yang menjadi dasar menolong Bank Century, tapi Perppu ini tak disahkan DPR sebagai undang-undang (sementara kucuran dana terlanjur terjadi dan masih terjadi hingga Perppu “ditolak”). Di sisi lain Pemerintah berkeras bahwa dasar hukum bail out adalah UU tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Jadi ada atau tidak ada Perppu, ditolak atau diterima, Bank Century tetap akan diselamatkan berdasarkan UU LPS.

8. Pengucuran Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang dilakukan Bank Indonesia kepada Bank Century sebesar Rp 689 miliar (di luar skema Rp 6,7 triliun) sarat masalah, mulai dari: (8.1) penyerahan dokumen jaminan yang dilakukan setelah dana dikucurkan, (8.2) jumlah jaminan berupa Aset Kredit yang diserahkan di bawah 150 persen, hingga (3) kualitas Aset Kredit yang ternyata disandarkan pada agunan berupa deposito yang berpotensi merugikan negara bila Bank Century akhirnya berstatus Bank Gagal (karena deposito yang dijamin hanya maksimal Rp 2 miliar, sementara deposito yang diagunkan bernilai ratusan miliar).

9. Terjadi penyalahgunaan dana FPJP justru saat Bank Century berada di bawah Pengawasan Khusus Bank Indonesia pada periode 6 November 2008 hingga dinyatakan bail out pada 20-21 November 2008. Dana FPJP yang totalnya Rp 689 miliar, digunakan oleh pemilik Bank Century untuk menutup penyimpangan-penyimpangan yang sebelumnya dilakukan, sehingga timbul pertanyaan, andai hal ini tidak terjadi, apakah kebijakan bail-out masih perlu dilakukan?

10. Terjadi penarikan dana oleh pihak-pihak yang mestinya masuk dalam daftar negatif Bank Indonesia pasca-bail out. Dengan demikian berarti dana tersebut disedot dari Penyertaan Modal Sementara LPS yang akhirnya membengkak dari kebutuhan awal Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.

Penarikan dana oleh pihak terkait ini jumlahnya cukup signifikan. Selain 18 juta dolar untuk mengganti dana nasabah milik Boedi Sampoerna yang sebelumnya digangsir Dewi Tantular, juga ada penarikan-penarikan lain bahkan hingga pasca-bail out (20-21 November 2008), alias menggunakan dana Penyertaan Modal Sementara (PMS) dari LPS. Inilah Keganjilan 10.

Berdasarkan audit sementara BPK, bahkan setelah disuntik Rp 6,7 triliun, dari brankas Bank Century (yang notabene sudah berpindah kepemilikan oleh LPS dan diawasi khusus oleh BI), tetap mengucur sejumlah dana yang ditarik oleh pihak-pihak terkait, yakni masing-masing sebesar: (pertama) Rp 454,8 miliar; (kedua) 2,22 juta dolar Amerika; (ketiga) 164,8 ribu dolar Australia; dan (keempat) 41,1 ribu dolar Singapura. BPK memang belum merinci, mana saja yang ditarik sebelum bail-out (dana FPJP) dan mana yang sesudahnya (duit PMS dari LPS).

Siapa yang melakukan penarikan dan untuk apa dana-dana ini? Itulah pertanyaan penting yang (mestinya) akan dijawab BPK dalam hasil audit final yang konon dirilis minggu terakhir bulan November 2009 ini. Tapi yang tak kalah penting adalah pertanyaan, bagaimana mungkin penarikan ini terjadi di depan hidung para pemegang saham baru Bank Century (LPS) dan Bank Indonesia? Atau pertanyaan lain seperti: ke manakah dana-dana ini kemudian mengalir?

Bila BPK mempersoalkan empat jenis keluarnya dana itu, pastilah dikategorikan dana yang mestinya tak boleh ditarik. Sebab, tentu saja semua nasabah berhak menarik dananya. Tapi dana yang ini dikategorikan sebagai “dana dari rekening simpanan milik pihak yang terkait dengan bank atau pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia”.

Jadi sudah jelas, bahwa yang tak boleh keluar dari brankas Bank Century bukanlah dana milik nasabah biasa—yang memang secara legal boleh ditarik dan menjadi hak mereka—melainkan dana milik pihak terkait yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai PBI No. 7/38/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank.

Nah, lantas siapa saja yang masuk dalam daftar negatif Bank Indonesia sebagai pihak-pihak yang dananya tak boleh keluar dari brankas Bank Century?

Inilah salah satu bagian terseksi yang kita nantikan dari hasil audit final BPK, selain ke mana aliran dana tersebut bermuara.

Apa yang dilakukan Boedi Sampoerna melalui Lucas (dan menyeret-nyeret nama Susno Duadji), untuk menarik duitnya 18 juta dolar dari Bank Century, hanyalah salah satu dari ratusan usaha lain yang mungkin dilakukan nasabah-nasabah tertentu yang simpanannya lebih dari Rp 2 miliar (batas penjaminan LPS). Dus, yang terjadi pada Bank Century pasca-keputusan bail out 21 November 2008 adalah sebuah antrean panjang para nasabah yang ingin menarik dananya masing-masing. Baik melalui “jalur normal” maupun “adu beking”. Jadi tak heran bila kebutuhan likuidtas yang semula diperkirakan hanya Rp 632 miliar (setelah disuntik FPJP Rp 689 miliar), membengkak menjadi Rp 6,7 triliun.

Tinggal persoalannya adalah, bagaimana manajemen Bank Century mengatur antrean tersebut dan apakah untuk mendapatkan nomor antrean terkecil—sehingga mendapat prioritas—ada praktik pat-gulipat dan setoran atau upeti? Dengan struktur berpikir seperti ini, maka kong-kalikong untuk mendapatkan prioritas pengucuran memang bisa saja terjadi. Hanya saja, kebetulan KPK mengendus proses yang dijalani Lukas dan Susno.

Bila dugaan saya ini benar, maka obyek penelitian BPK mestinya difokuskan pada siapa saja nasabah di atas Rp 2 miliar yang menarik dananya pada periode November–Desember 2008? (terutama yang masuk daftar negatif BI). Sebab, di periode inilah LPS paling banyak mengguyur Bank Century, yakni mencapai Rp 4,9 triliun hanya dalam tempo satu bulan! Sementara tahap pengucuran selanjutnya dilakukan pada Febaruari 2009 (Rp 1,15 triliun) dan terakhir pada 24 Juli 2009 (Rp 630 miliar). Kasus Century sendiri meledak ke permukaan setelah termin kucuran keempat, berakhir (yang bertepatan dengan usainya Pemilihan Presiden satu putaran).

Inilah yang dimaksud dengan “aliran dana Bank Century”. Jadi, bukan semata-mata penarikan dana para nasabah yang memang legal. Dalam rumusan yang lebih gamblang, yang dimaksud “aliran dana” menurut saya adalah:

1. Dana-dana yang mestinya masuk daftar negatif Bank Indonesia (tak boleh ditarik dari brankas Bank Century), tapi lolos. Baik periode FPJP (14-19 November 2008), maupun periode LPS (21 November 2008 – 24 Juli 2009).

2. Aliran selanjutnya dari dana-dana poin 1 (tidak hanya berhenti di tangan nasabahnya yang memang legal).

3. Kemungkinan adanya gratifikasi atau komisi pada individu/pejabat/organisasi tertentu (tapi dananya berasal dari sumber lain yang bukan dari aliran duit Bank Century), dalam rangka memuluskan skenario sebagaimana dimaksud pada poin 1.

---

4. Dana-dana legal milik para nasabah yang dikucurkan pada periode November – Desember 2008 (bahkan hingga Juli 2009), tapi diduga keluar dengan cara “main mata” dan hasil “bisnis nomor antrean”.

5. Aliran selanjutnya dari dana-dana yang dimaksud poin 4 (tidak berhenti di tangan nasabahnya yang memang legal).

6. Kemungkinan adanya gratifikasi atau komisi pada individu/pejabat/organisasi tertentu (tapi dananya berasal dari sumber lain yang bukan dari aliran duit Bank Century), dalam rangka memuluskan skenario sebagaimana dimaksud pada poin 4.

Dengan pasangan dua kombinasi besar ini (setiap kombinasi terdiri dari tiga kemungkinan “kejahatan”), maka benarlah, bahwa kasus Bank Century memang butuh transparansi dan akuntabilitas yang tinggi agar memuaskan keingintahuan publik. Bila benar hasil audit BPK akan mengejar sejauh itu, maka peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memang sangat sentral dan signifikan. Itupun dengan catatan bahwa PPATK dan BPK melakukan tugasnya dengan independen, profesional, dan penuh integritas demi kepentingan publik. Bukan yang lain.

Saya mohon maaf bila hingga episode Keganjilan 10 ini, pertanyaan Anda akan siapa yang bersalah dan mestinya ikut bertanggung jawab, belum tuntas terjawab. Serial tulisan ini memang di-ikhtiarkan untuk mempetakan ulang kasus Bank Century yang sudah banyak diulas, namun terlalu berserak untuk dipahami (dan meninggalkan sejumlah detil penting yang tercecer).

Setelah menyamakan level pemahaman atas kasus ini, mudah-mudahan kita lebih siap mencerna, menelaah, dan mungkin mengkritisi hasil audit final BPK yang akan dilaporkan kepada DPR akhir November ini. (belum TAMAT)

No comments:

Post a Comment