Saturday, November 21, 2009

Sekali Lagi: 10 Keganjilan di Bank Century (9)

Oleh: Dandhy D Laksono --

Bila Anda baru membaca artikel ini di pekan terakhir November 2009, barangkali Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah mengeluarkan laporan auditnya yang terbaru. Laporan hasil audit yang (semoga) paling lengkap, jujur, detil, dan akurat. Artikel ini saya tulis 21 November sore, tepat satu tahun keputusan pemerintah dan bank sentral mem-bail-out Bank Century. Dokumen yang saya rujuk adalah hasil audit BPK bulan April dan September 2009. Dua-duanya bukanlah hasil audit final, karena beberapa pertanyaan penting belum tuntas terjawab, terutama mengenai:... (ini dia) aliran dana!

Tapi meski baru laporan pendahuluan, BPK sudah mengendus aneka kejanggalan dan keganjilan yang cukup berentet untuk ukuran bank sekecil Century, baik fase sebelum bail-out, proses pengambilan keputusan, hingga pasca-bail-out. Dan yang disebut dengan “aliran dana Bank Century” –bagian yang barangkali dianggap paling seksi— sejatinya juga bisa dibagi dalam babakan tersebut. Jangan terburu nafsu membayangkan kisahnya akan seperti aliran dana Bank Bali sebesar Rp 500-an miliar yang berhasil ditelurusi akuntan publik Pricewaterhouse Cooper (PwC) hingga ke rekening-rekening individu dan perusahaan, namun tak ada tindakan hukum lanjutan kecuali terhadap Djoko Tjandra (PT Era Giat Prima), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), dan Syahril Sabirin (Gubernur Bank Indonesia). Yang disebut pertama bahkan buron hingga kini.

Yang disebut “aliran dana Bank Century” pada babak sebelum bail-out (20-21 November 2008) adalah aliran dana yang patut diduga ilegal yang sumbernya dari kucuran Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Jadi kita belum membicarakan dana Rp 6,7 triliun yang saya kategorikan dalam fase pasca-keputusan bail out. Seperti telah diurai di Keganjilan 8, antara 14-19 November 2008, Bank Century memeroleh kucuran dana FPJP sebesar Rp 689 miliar dari Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Semula manajemen Bank Century meminta FPJP Rp 1 triliun dengan menyerahkan sejumlah jaminan berupa Aset Kredit yang belakangan dianggap bermasalah oleh BPK.

Nah, sebelum bank milik keluarga Robert Tantular itu diguyur Rp 689 miliar, Bank Indonesia telah menempatkan sejumlah pengawasnya di bank yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus sejak 6 November 2008 itu. Jadi, delapan hari sebelum mulai dikucuri dana talangan, pembukuan dan brankas Bank Century (mestinya) sudah dipelototi orang-orang BI.

Tapi temuan BPK menunjukkan sebaliknya.

Pada tanggal 14 November 2008, tepat pada hari pertama kucuran FPJP dimulai, Robert Tantular meminta Kepala Bagian Operasional Bank Century Cabang Surabaya untuk memindahkan deposito milik seorang nasabah sebesar 96 juta dolar dari Kantor Cabang Kertajaya (Surabaya) ke Kantor Pusat Operasional (KPO) Senayan (Jakarta). Duit inilah yang disebut sebagai duit milik pengusaha Boedi Sampoerna. Sesampainya di KPO Senayan, keesokan harinya (15 November 2008), duit itu dicairkan sebanyak 18 juta dolar (sekira Rp 180 miliar) oleh Robert Tantular dan saudarinya, Theresia Dewi Tantular yang kini jadi buronan polisi. Jadi sampai episode ini, Anda sudah menemukan dua kali nama Boedi Sampoerna muncul. Pertama sebaga debitur yang kredit dan depositonya dijadikan jaminan FPJP ke Bank Indonesia (episode Keganjilan 8), dan kedua sebagai nasabah (deposan) yang duitnya digangsir oleh keluarga Tantular. Sekali lagi, kita belum berbicara tentang uang Rp 6,7 triliun yang baru dikucurkan pada 24 November 2008 dalam skema bail out oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ini baru peristiwa yang terjadi pada periode pengucuran FPJP sebesar Rp 689 miliar.

Lantas untuk apa keluarga Tantular menggangsir duit nasabahnya sebesar Rp 18 juta dolar? Usut punya usut, BPK menyimpulkan, uang tersebut digunakan untuk menutupi kekurangan bank notes (uang kertas asing) yang selama ini telah digunakan untuk keperluan pribadi Dewi Tantular. Sebagai Kepala Divisi Bank Notes, selama ini ternyata Dewi telah menjual bank notes ke luar negeri, dengan jumlah melebihi yang semestinya tercatat. Ada yang menyebut, Dewi melakukan ini karena takut kepergok para pengawas Bank Indonesia yang sudah mulai memeriksa jeroan Bank Century (sejak 6 November 2008). Tapi melihat tanggal kejadiannya (14 November), BPK secara tak langsung meragukan dugaan ini dan lebih percaya pada fakta bahwa karena saat itulah uang dari Bank Indonesia mulai mengucur. Sebab, lubang sebesar 18 juta dolar milik Boedi Sampoerna itu, menurut laporan BPK, kemudian ditambal dengan dana FPJP dari Bank Indonesia.

Ada lagi yang menyebut bahwa duit 18 juta dolar itu digunakan Dewi untuk menutup dana para nasabah PT Antaboga Delta Securitas yang juga dimiliki keluarga Tantular. Sebagaimana diketahui, meski pemiliknya sama, Bank Century dan Antaboga adalah dua perusahaan yang berbeda secara bisnis. Yang satu bank, yang lain adalah lembaga investasi. Yang pertama memberi bunga (deposito) kepada nasabah, yang kedua memberi keuntungan (gain/yield) bagi hasil investasi. Tapi Tantular berhasil mengecoh sejumlah nasabah Bank Century untuk membeli produk reksadana di Antaboga yang memang “dimirip-miripkan” dengan produk keluaran Bank Century. Akibatnya, ketika Antaboga ambruk dan Bank Century kolaps, yang disebut “nasabah Bank Century” ini menjadi rancu karena keduanya sudah tercampur aduk. Kelompok pertama dijamin pemerintah (LPS), yang kedua sama sekali tidak. Nah, duit 18 juta dolar yang digangsir Dewi Tantular dari rekening Boedi Sampoerna di Bank Century itulah yang disebut-sebut digunakan untuk menutup bolong di Antaboga.

Kini pertanyaannya: andai keluarga Tantular tak mengutil 18 juta dolar dari FPJP dan andai para pengawas Bank Indonesia jeli terhadap bank yang berada dalam pengawasan khusus mereka, masihkah Bank Century perlu di-bail out oleh LPS? Pertanyaan ini harus dijawab dan disimulasikan sebagai bagian dari audit BPK. Sebab, saya masih mengantongi dugaan bahwa ketidakberesan di fase pengucuran FPJP sebesar Rp 689 miliar inilah yang membuat pemerintah harus mengguyur Century Rp 6,7 triliun (LPS). Fase FPJP juga paling sedikit diributkan karena angkanya kalah seksi dengan fase LPS. Harus ada yang bertanggung jawab di fase ini meski FPJP telah dilunasi pada 11 Februari 2009 (tentu saja dengan duit suntikan LPS).

Pengusutan khusus pada fase FPJP ini sekaligus untuk mengurai secara gamblang apakah kebobrokan Bank Century memang ulah keluarga Tantular semata, atau ada "penumpang-penumpang" gelap lainnya yang akan diuntungkan (baik langsung atau tidak) dengan kebijakan bail-out sebesar Rp 6,7 triliun?

Kembali ke soal duit 18 juta dolar milik Boedi Sampoerna yang dipakai Dewi Tantular (saya lebih senang menganggapnya sebagai uang FPJP, seperti kesimpulan BPK). Duit inilah yang membawa-bawa nama Kepala Badan Reserse Kriminal, Komisaris Jenderal Susno Duadji (55 tahun). Boedi Sampoerna melalui seorang pengacara bernama Lucas, meminta agar duit tersebut ditarik, segera setelah Bank Century di-bail out dan dikucuri Rp 6,7 triliun melalui skema LPS (fase pasca-21 November 2008).

Lucas lalu meminta “surat keterangan” dari Susno sebagai Kabareskrim yang menyatakan bahwa duit yang digelapkan keluarga Tantular itu adalah duit kliennya yang sah, dan bukan duit hasil kejahatan. Surat clearence yang dikeluarkan Susno pada 7 April 2009 itu adalah salah satu syarat yang diminta oleh manajemen baru Bank Century (pasca-bail out). Maklum, saat itu Bank Century sudah disuntik LPS dengan dana segar yang jumlah totalnya belakangan menjadi Rp 6,7 triliun. Bank yang baru disuntik, tentu saja tak bisa seenaknya meloloskan duit para nasabah, meski hal itu menjadi hak legal mereka.

Di tengah proses pengurusan surat “bersih diri” atas uang 18 juta dolar itulah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus sesuatu. Inilah yang belakangan disebut-sebut sebaga cikal bakal “perang” antara Cicak melawan Buaya.

Sampai di sini persoalan sudah mulai ruwet. Padahal, kita belum lagi mengurai kasus Bank Century di tengah proses dan pasca-bailout sebesar Rp 6,7 triliun! Dugaan bahwa uang itu mengalir ke pundi-pundi politik, masih jauh panggang dari api untuk dibuktikan. Setidaknya di titik ini. Di titik saya belum mendapatkan hasil audit BPK yang terbaru... (bersambung)

No comments:

Post a Comment