Saturday, November 21, 2009

Sekali Lagi: 10 Keganjilan di Bank Century (8)

Oleh: Dandhy D Laksono --

Keganjilan 8: Skandal FPJP Berujung Bailout?
Bank Century adalah kasus seksi, tapi orang terengah-engah mengikuti detilnya. Terlalu rumit, teknis, dan menyangkut rimba belantara perbankan yang tak dikenal orang ramai: termasuk wartawan. Belum lagi akses data yang serba terbatas karena industri keuangan memang dilindungi aneka aturan yang tak memungkinkan lalu lintas informasi diakses banyak pihak. Tapi sejauh berkaitan dengan dana publik, maka kita berhak memperbincangkannya, termasuk membuka-buka datanya.

Salah satu bagian yang perlu diperjelas dari kasus Bank Century ini adalah; tak banyak orang menyadari bahwa pengucuran dana terhadap bank milik Robert Tantular itu sejatinya terjadi dua kali. Pertama sebesar Rp 689 miliar, dan kedua sebesar Rp 6,7 triliun. Tentu saja yang lebih tersohor adalah pengucuran dalam skema total Rp 6,7 triliun yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara (PMS), antara 24 November 2008 hingga 24 Juli 2009. Sementara yang Rp 689 miliar dikucurkan antara 14-18 November 2008 melalui skema Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kucuran melalui skema FPJP dan skema LPS memiliki perbedaan dari sisi sumber dananya. FPJP adalah dana talangan dari (kantong) Bank Indonesia, sementara dana LPS merupakan gabungan antara dana publik (modal awal Rp 4 triliun dari APBN) dan dana masyarakat melalui iuran perbankan.

Mungkin karena fasilitas pengucuran melalui skema FPJP ini sudah dilunasi 11 Februari 2009, maka urusannya dianggap selesai dan “kurang diributkan”. Padahal, tidak semudah itu urusannya.

Sebagaimana tersurat dalam catatan sebelumnya, karena kesulitan likuiditas, manajemen Bank Century pada 30 Oktober 2008 mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Indonesia sebesar Rp 1 triliun. Permohonan itu diulangi empat hari kemudian, 3 November 2009. Karena permohonan itulah maka pada 6 November 2008, Bank Century resmi berada dalam pengawasan khusus oleh Bank Indonesia. Sejak itu pula, Bank Indonesia menempatkan para pengawasnya di kantor Bank Century.

Tanggal 14 November 2008, setelah mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang ketentuan Rasio Kecukupan Modal atau CAR minimum dari 8 persen menjadi minimal 0 persen, Bank Century pun mendapat kucuran dana Rp 356,8 miliar. Tiga hari kemudian (17/11) dikucuri lagi Rp 145,2 miliar dan sehari kemudian ditambah lagi Rp 187,3 miliar, sehingga jumlah total FPJP yang diterima adalah Rp 689 miliar (dari permohonan awal Rp 1 triliun).

Jadi ribut-ribut soal mengubah aturan yang dianggap “last minute” dan “demi Bank Century seorang” itu sesungguhnya adalah “keributan” di tahap fase pengucuran pertama (melalui skema FPJP), dan bukan bagian dari keributan Rp 6,7 triliun.

Nah, menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/30/PBI/2008 ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah bank yang mengajukan FPJP, di antaranya adalah menyerahkan jaminan aset. Jadi dalam hal ini, Bank Indonesia bertindak sebagai layaknya bank, yang memberi pinjaman dan meminta jaminan aset dari debiturnya. Jaminan aset (kolateral) yang diserahkan manajemen Bank Century kepada Bank Indonesia adalah Aset Kredit atau dalam kira-kira sama dengan hak tagih. Jadi Bank Century punya tagihan kredit kepada para nasabahnya, dan tagihan kredit itulah yang dialihkan ke Bank Indonesia sebagai jaminan.

Keganjilan 8.1
Di sinilah persoalan mulai muncul. Dalam dokumen hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada bulan April 2009 (sebelum kasus Bank Century meledak ke permukaan --Juli 2009), ditemukan bahwa dokumen Aset Kredit senilai Rp 232,5 miliar baru diserahkan ke Bank Indonesia, tiga hari setelah pengucuran termin pertama, alias 17 November 2008. Itu berarti, Bank Indonesia dengan sadar mengucurkan duit talangan terlebih dahulu, tanpa meneliti kelengkapan dokumen Aset Kredit yang dijadikan jaminannya.

Kesalahan (secara sengaja?) kembali terulang pada pengucuran selanjutnya, di mana Bank Indonesia sudah memberikan dana Rp 187,2 miliar pada 18 November 2008, namun dokumen jaminannya baru diterima dua hari kemudian. Menurut BPK, dua kesalahan beruntun ini melanggar aturan yang dibuat Bank Indonesia sendiri. Pasal 8, PBI 10/30/2008 misalnya, menyebut bahwa permohonan FPJP wajib dilengkapi dengan dokumen antara lain daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung. Jadi, daftar agunan dan dokumennya harus diserahkan dulu, lalu BI membuat penilaian, dan fasilitas pun dikucurkan. Pasal 9 menyatakan, persetujuan BI atas permohonan FPJP dilakukan apabila antara lain Bank memenuhi persyaratan kelengkapan permohonan FPJP. Jadi bagaimana Bank Century yang kelengkapannya “menyusul” justru bisa mendapat kucuran Rp 689 miliar dalam empat hari berturut-turut?

Keganjilan 8.2
Keganjilan lain yang sangat menggangu adalah kuantitas dari agunan berupa Aset Kredit yang diserahkan Bank Century kepada BI. Lagi-lagi menurut aturan yang dibuat Bank Indonesia sendiri (PBI 10/26/2008) tentang FPJP, jumlah bank yang menyerahkan Aset Kredit sebagai jaminan, harus berjumlah “palig kurang 150 persen” (Pasal 5) dari nilai FPJP. Nah, menurut temuan BPK, jumlah Aset Kredit yang dijaminkan ke Bank Indonesia hanya 148 persen dari FPJP yang dikucurkan alias hanya Rp 1,02 triliun.

Keganjilan 8.3
Nah, di dalam agunan yang kurang itupun (kuantitas), masih terdapat persoalan dari sisi kualitas agunanannya. Di dalam Aset Kredit yang dijaminkan Bank Century kepada Bank Indonesia, terdapat hak tagih terhadap tiga debitur besar:

a. PT Artha Persada (Rp 222,99 miliar)
b. Boedi Sampoerna (Rp 195 miliar)
c. PT Tranka Kabel (Rp 50 miliar)

Jadi, pengusaha Boedi Sampoerna yang namanya banyak disebut-sebut, sesungguhnya tak hanya sebagai deposan di Bank Century, tetapi juga sebagai debitur alias orang yang berhutang. Nah, ketiga debitur ini menyerahkan depositonya sebagai jaminan di bank yang sama. Dus ketika Bank Century menyerahkan Aset Kredit dari ketiganya ke BI, maka agunan mereka berupa deposito pun ikut terbawa (carry over) sebagai jaminan FPJP.

Di mata BPK, ini adalah blunder yang dilakukan Bank Indonesia. Sebab, dengan jaminan deposito, bila ketiga debitur tersebut gagal bayar (kreditnya macet), maka agunan yang dapat dicairkan dari masing-masing mereka hanya Rp 2 miliar sesuai batas Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jadi dari agunan sebesar Rp 467 miliar itu (milik ketiga debitur), bisa-bisa hanya tinggal Rp 6 miliar.

Inilah yang disebut dalam hasil audit BPK September 2009 (setelah kasus Bank Century ramai) sebagai “jaminan yang tidak secure”.

Dengan adanya unsur jaminan deposito sebesar Rp 467 miliar di dalam agunan Bank Century kepada Bank Indonesia itu pula, saya menganggap bila Bank Century dinyatakan sebagai Bank Gagal dan kemudian ditutup, maka potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 461 miliar. Sebab, bila BI memutuskan menutup Bank Century, maka dia pun hanya akan menerima pembayaran dari LPS sebesar maksimal Rp 6 miliar dari ketiga deposito itu. Karena lagi-lagi, batas deposito yang dijamin hanya Rp 2 miliar.

Jadi, dalam hal ini, Bank Indonesia sudah tersandera dengan keteledorannya(?) sendiri dalam episode pengucuran FPJP, sehingga mau tak mau memang harus “ngotot” menyelamatkan Bank Century (dengan episode Rp 6,7 triliun LPS). Apalagi bila keteledoran ini adalah kesengajaan, maka menutup Bank Century sama dengan membuka kotak pandora berbagai kemungkinan tindak pidana persekongkolan yang sangat potensial merugikan negara. Sebab, baik keganjilan penyerahan dokumen Aset Kredit (8.1), kuantitas Aset Kredit (8.2), maupun kualitasnya ini (8.3), mustahil tak bisa dikaitkan dengan aspek-aspek pengawasan dari orang-orang BI sendiri, sejak Bank Century berstatus Bank Dalam Pengawasan Khusus, 6 November 2008. (bersambung)

No comments:

Post a Comment