Saturday, November 21, 2009

Sekali Lagi: 10 Keganjilan di Bank Century (7)

Oleh: Dandhy D Laksono --

Keganjilan 7: Dasar Hukumnya Apa?
Krisis di sektor keuangan yang terjadi di negara-negara maju, rupanya mengkhawatirkan hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada hari Rabu, 15 Oktober 2008, ia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Inilah yang disebut-sebut sebagai dasar hukum yang memayungi kebijakan bailout Bank Century —atau bila dibaca tanpa prasangka: dan bank-bank lain yang mungkin dianggap bernasib sama di tengah krisis keuangan global (meski, tentu saja, Bank Century kolaps bukan karena krisis, melainkan malpraktik perbankan yang dilakukan oleh para elit manajemennya).

Isi Perppu 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ini memang menunjukkan bahwa pemerintah yakin dampak krisis keuangan global akan menggerayangi dunia perbankan kita dan berpotensi menimbulkan krisis ekonomi. Karena itu, di bagian paling pertama perppu tersebut, Presiden Republik Indonesia menyatakan: “bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.”

Dengan landasan berpikir seperti itu, maka isi perppu tersebut pada dasarnya adalah kebijakan “pasang badan” yang akan dilakukan pemerintah (Bank Indonesia dan Departemen Keuangan) untuk menggunakan dana masyarakat (APBN) bila ada bank yang sakit dan perlu ditolong. Bagi yang trauma dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan segala praktik moral hazard-nya, inilah payung hukum yang memungkinkan kebijakan serupa, terulang. Tapi bagi yang percaya dengan “dampak sistemik”, maka ini adalah langkah strategis yang diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merespon situasi yang berkembang dan menganggapnya sebagai “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, sehingga ia perlu membuat perppu tanpa menunggu undang-undang yang memerlukan pembahasan panjang di parlemen.

Salah satu pasal yang paling tersohor dari perppu ini adalah Pasal 29, di mana Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai perppu ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan bailout. Dus, dalam bahasa sederhana, perppu ini adalah payung hukum untuk mem-bailout bank yang sakit akibat krisis yang diyakini akan menjalar ke Indonesia, termasuk untuk melindungi para pengambil kebijakannya.

Adapun poin-poin penting dalam Perppu 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah sebagai berikut:

1. Definisi dampak sistemik. Adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.

2. Definisi Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Adalah fasilitas dari Bank Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak Sistemik.

3. Perlakuan terhadap Bank Gagal. Bila bank tidak dapat melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK), Bank Indonesia menyatakan bank dimaksud sebagai Bank Gagal dan meminta KSSK untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Gagal dimaksud.

4. Pemerintah menanggung Bank Gagal. Pemerintah mengganti dana FPD yang belum dilunasi oleh bank penerima FPD kepada Bank Indoensia.

5. Sumber dana Pemerintah. Untuk pencegahan dan penanganan Krisis, pemerintah mengambil dana yang berasal dari APBN melalui Surat Berharga Negara (SBN) atau tunai.

6. Perlindungan terhadap Pengambil Kebijakan. Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai perppu ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam perppu ini.

Dengan landasan hukum inilah, Bank Indonesia pada bulan November 2008 langsung merombak peraturan yang berkaitan dengan pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD), terutama pada bagian Rasio Kecukupan Modal (CAR) perbankan yang semula positif 5 persen menjadi cukup positif saja (asal tidak negatif). Amandemen itu ditandatangani Gubernur Bank Indoensia, Boediono tanggal 18 November atau tiga hari sebelum KSSK memutuskan mem-bailout Bank Century.

Meski demikian, sebenarnya skema yang berlaku untuk penyelamatan Bank Century bukan skema FPD, melainkan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Terbukti, tidak ada dana pemerintah atau publik (secara langsung) yang digunakan untuk menambal modal di bank tersebut. Tidak ada dana talangan dari BI yang dikucurkan ke Bank Century, dan tidak ada tagihan yang dilayangkan BI kepada Departemen Keuangan. KSSK pada 21 November 2008 memutuskan bahwa Bank Century berstatus sebagai Bank Gagal yang memiliki dampak Sistemik dan menyerahkan penangannya kepada LPS, yang idenya memang dibentuk agar tragedi BLBI tak terjadi lagi.

Jadi, menurut saya, ada atau tidak ada perppu 15 Oktober 2008 itu, Bank Century tetap bisa diselamatkan dengan skema LPS karena lembaga itu memang punya payung hukum sendiri, yakni UU 24/2004. Skema penyelamatan oleh LPS adalah dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara (PMS), di mana LPS menyuntikkan dana ke Bank Century, LPS menjadi pemegang saham Bank Century, dan pada akhirnya LPS akan menjual kembali Bank Century. Perkara berapa yang disuntik, berapa saham yang diperoleh sebagai kompensasi, dan apakah hasil penjualan sepadan dengan ongkos penyelamatannya, itu adalah perkara lain yang akan diurai belakangan. Yang pasti, payung hukumnya ada, dengan atau tanpa Perppu Jaring Pengaman Sektor Keuangan.

Di titik ini, saya berpeda cara pandang dengan sejumlah pihak, terutama para politisi di parlemen yang menolak bailout dengan alasan tak memiliki payung hukum. Tapi saya bisa memahami argumen ini karena dalam perppu itu sendiri ada pasal yang khusus mengatur tentang penanganan Bank Gagal melalui skema LPS. Jadi ketentuan tentang skema LPS memang overlaping, antara UU tentang LPS (24/2004) dan Perppu 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang diajukan Presiden.

Pasal 18 Perppu JPSK misalnya, mengatur bahwa dalam hal sebuah bank dinyatakan sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik oleh Bank Indonesia dan KSSK, maka penyelesaian atau penanganannya dilakukan oleh LPS. Dan dalam kondisi keuangan LPS tidak mencukupi untuk penanganan Bnak Gagal, maka pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS.

Nah, ketentuan inilah yang dianggap menjadi payung hukum bagi KSSK untuk menyerahkan urusan Bank Century kepada LPS dengan skema Penyertaan Modal Sementara (PMS). Padahal, substansi Pasal 18 perppu tersebut juga ada dalam UU LPS, termasuk bila LPS kekurangan dana akibat menyuntikkan modal ke Bank Gagal, LPS bisa meminta tambahan duit ke pemerintah dalam hal ini menggunakan APBN. Hal yang berbeda barangkali adalah tentang Pasal 29 perppu yang membebaskan para pejabat dari tuntutan hukum apapun atas kebijakan bailout tersebut. Sebuah ketentuan yang tak ada dalam UU LPS.

Jadi bila perppu tersebut katakanlah ditolak DPR, maka pemerintah masih punya payung hukum “cadangan”. Namun dua-duanya tetap tak terlepas dari prinsip penyelamatan sebuah bank sakit yang sama-sama menggunakan uang rakyat. Bedanya, dalam skema perppu dengan FPD, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan langsung menyuntikkan modal dari APBN, sementara dalam skema LPS, sumber dananya relatif campuran antara ABPN dan iuran atau premi perbankan. Tapi bila lembaga ini kesulitan modal gara-gara bailout, maka toh, ujung-ujungnya pemerintah dan rakyat juga yang akan menalangi.

Perppu itu sendiri memang diajukan ke DPR untuk disahkan sebagai undang-undang baru. Dan selama menunggu proses itu, dana tetap dikucurkan ke Bank Century di bulan November hingga Desember 2008 dengan jumlah mencapai Rp 4,9 triliun. Ini adalah hal yang legal mengingat perppu yang jadi kewenangan Presiden memang bisa langsung diterapkan dan memiliki kekuatan setara undang-undang.

Tapi pada tanggal 18 Desember 2008, berdasarkan Notulensi Rapat Paripurna DPR, diputuskan bahwa Pemerintah diminta mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebelum 19 Januari 2009. Dus, secara implisit, perppu tersebut tak diterima DPR, tetapi juga secara eksplisit tidak ada statement penolakan. Sebab, bila perppu tersebut diterima, maka otomatis DPR langsung mensahkannya menjadi undang-undang baru. Tapi bila ditolak, maka secara substansi kebijakan bailout dengan dana pemerintah melalui Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) atau skema LPS yang bisa meminta tambahan modal dari APBN, harus batal.

BPK sendiri menafsirkan situasi “banci” ini dalam rumusan kalimat: “Dari keputusan tersebut, tidak ada kejelasan apakah Perppu tersebut ditolak atau diterima oleh DPR.”

Nah, karena itu, BPK menyatakan bahwa status hukum pengucuran dana LPS kepada Bank Century setelah tanggal 18 Desember 2008 masih dalam proses pengkajian. Itu berarti, BPK maupun DPR sama-sama menggunakan perspektif bahwa bailout melalui skema LPS pun mengacu pada perppu yang nasibnya tak jelas. Dalam laporannya BPK tidak mengurai apakah UU LPS 24/2004 juga bisa dijadikan acuan pengucuran modal untuk Bank Century.

Bagian ini memang bagian yang paling luas ruang intepretasi hukumnya. Apalagi, meski perppu "ditolak" 18 Desember 2008, pengucuran dana ke Bank Century (oleh LPS) tetap dilakukan hingga bulan Juli 2009. Jadi, bagi DPR, secara hukum ada dua tahap pengucuran ke Bank Century, yakni tahap sebelum perppu “ditolak” dan tahap setelah perppu “ditolak”.

Pada tahap sebelum 18 Desember 2008, ada pengucuran dana hingga Rp 4,97 triliun. Namun setelahnya, Februari hingga Juli 2009, masih ada pengucuran hingga 1,78 triliun sehingga total jenderal dana yang mengalir mencapai Rp 6,7 triliun. Di sinilah muncul pendapat bahwa pemerintah melakukan pelanggaran hukum karena tetap mengucurkan dana meski payung hukumnya “tidak diterima” DPR.

Kita masih menunggu apa kesimpulan akhir BPK mengenai silang sengkarut payung hukum bailout Bank Century ini. (bersambung)

No comments:

Post a Comment